Minggu, 24 November 2013

(SH/Pramono R Pramoedjo)
Ilustrasi.

Tiga puluh delapan mahasiswa berkumpul di sebuah rumah di Cimahi, Jawa Barat. Mereka ketawa-ketiwi mengabaikan hawa dingin air hujan yang tercurah dari langit tiada henti.


Duduk di lantai untuk sebuah pertemuan selama tiga hari, dengan tidur umpel-umpelan dan mandi secepat kilat karena hanya ada tiga kamar tidur dan lima kamar mandi di sana. Yang tidak kebagian kamar tidur, menggelar kasur di ruang terbuka lantai 2. Padahal, setiap peserta merogoh kocek sendiri untuk ikutan kegiatan itu.  

Gila, kan? Tapi Titi (20) merasa senang. Aris Munandar (20) juga sama, senang. Menggebu-gebu, malah. “Ini seru banget. Papa di Kalimantan sudah tanya terus, minta diceritain. Saya sering telepon ke rumah, terus papa tanya ‘Ayo cepat kami dikasih tahu gimana acara di situ’,” kata Titi, mahasiswi Universitas Adven Indonesia (Unai) Cimahi jurusan Akuntansi, yang baru Agustus 2013 lalu meninggalkan tanah kelahirannya di Pontianak, Kalimantan Barat.

Titi yang asal suku Dayak itu tak ingin konflik berdarah di daerahnya terulang. Trauma masih membekas, pertikaian antara Dayak-Madura yang dipicu masalah sepele, tapi kemudian membesar dan mengakibatkan jatuhnya banyak korban jiwa dan materi. Seperti mimpi buruk kalau ia mendadak terbayang-bayang peristiwa itu, meskipun tidak langsung melihat kejadiannya dan hanya mendengar cerita dari mulut ke mulut.

Aris Munandar yang mahasiswa jurusan Hubungan Internasional (HI) Universitas Lampung (Unila), juga tak rela daerah asalnya, Lampung, diobok-obok pertentangan berdarah. Ia tak mau lagi konflik terjadi seperti pada awal Oktober 2013 antara suku Lampung dan Bali di Kalianda.

Jengah menghadapi pertikaian, kemudian Titi, Aris, dan 36 mahasiswa lain dari beragam suku dan agama menambah ilmu tentang bagaimana cara menciptakan perdamaian. Mereka ingin tampil menjadi peacemaker, pendamai. Tidak muluk-muluk berilusi mengubah perang menjadi perdamaian, tapi cukup menciptakan rasa damai di hati sendiri dan di lingkungan terdekatnya. Menciptakan kerukunan di dalam keluarga pun cukup, dengan harapan tidak mengalami perceraian rumah tangga.

Salut buat Aris! Ia saat ini sedang ikut dalam manajemen proyek untuk acara Sumatera Peace Summit di Bandar Lampung, 22-24 Desember 2013. “Saya ingin Indonesia yang multietnis dan segala multi-multi lainnya ini jadi damai. Lebay, ya?” ujar Aris tersenyum.

Tapi ia serius, sama seriusnya dengan semua mahasiswa lain yang berinisiatif mengikuti pertemuan yang digagas oleh Peace Generation Indonesia itu.

Ini mencengangkan, bahwa ternyata anak-anak muda terpelajar yang sama sekali tak terdengar gaungnya, diam-diam berkumpul mendiskusikan tentang bagaimana cara menciptakan perdamaian di Indonesia. Dalam ajang itu mereka juga nonton film bagus tapi terlarang, ?, karya Hanung Bramantyo yang mengisahkan pembauran dan pluralisme.

Kegiatan tersebut disebut Student Interfaith Peace Camp 2013: Building Peace Generation Through Young Peacemaker. Diselenggarakan Young Interfaith Peacemaker Community Indonesia di lokasi Rumah Searah, Parongpong, Cimahi, Jawa Barat, Jumat-Minggu (15-17 November).
 
Diadakan serentak di empat lokasi yakni Cimahi, Yogyakarta, Jawa Timur, dan Medan. Peserta di Cimahi adalah mahasiswa dari Cimahi, Lampung, Bandung, dan Jakarta dari agama Islam, Protestan, Katolik, dan Adven. Uniknya, setiap peserta wajib membawa kitab suci masing-masing.

Di lokasi yang cukup sulit diakses kendaraan umum itu, mereka melakukan doa bersama dalam satu ruangan yang sama pada waktu bersamaan. Yang muslim salat, sementara yang Kristen, Katolik, dan Adven sembahyang.
 
Doa dimulai pukul 04.00 subuh, disambung devosi bersama. Dalam devosi mereka membaca kitab suci masing-masing yang inti ayatnya bersinggungan atau ada kesamaan antaragama, lantas mereka sharing-kan. Mereka jadi mengerti inti agama adalah sama, yaitu ada rahmat dan kasih.

Hari pertama acara tersebut merupakan hari Jumat, seluruh peserta camp melakukan doa bersama pada petang hari. Itulah hari Sabat bagi orang Adven. Bahkan, berhubung kegiatan diadakan di dekat Kampus Universitas Adven Indonesia (Unai), menu makan selama tiga hari menghindari ikan dan daging. Yang ada hanya sayur, buah, dan sesekali telur burung puyuh. Nyatanya, semua peserta senang dan berebut makan. Tak ada yang mengeluhkan menu yang sederhana.

Itulah wujud rasa saling menghormati agama lain. Bukan dimaksudkan untuk mengubah iman, melainkan agar antaragama saling memahami dan melengkapi. Sesuai prinsip ajaran keempat dalam camp tersebut tentang perbedaan agama, yakni beda keyakinan nggak usah musuhan! “Kamu harus loyal pada agamamu, tapi juga harus hormat pada agama lain”.

Di situlah para mahasiswa dipertebal ilmunya tentang nilai-nilai dasar perdamaian, yakni menghargai perbedaan, empati, membangun persahabatan dengan orang yang berbeda, dan menghindari prasangka. Ada 12 cara penyelesaian konflik, di antaranya adalah menciptakan rasa menghargai, cinta, aman, dan rasa dimengerti.

Setelah mengerti nilai-nilai dasar perdamaian, mereka akan memahami prosesnya, lalu nanti akan menerapkan di lingkungan masing-masing dalam masyarakat. Setiap peserta akan menularkan ilmunya tersebut sebagai trainer di lingkup masing-masing, dengan sasaran akhir tidak ada lagi kekerasan dan konflik di masyarakat yang mengatasnamakan agama/golongan.

Mereka akan menjadi role model bagi masyarakat, pada hari terakhir camp mereka dilatih menjadi foto model oleh Sri Danarti Mintarsih (Mimien) dari Peace Generation. Harapannya, seorang model akan tampil membawakan diri sebaik mungkin di tengah masyarakat. Acara yang seru dan tidak membosankan.

Cabut Akar Kekerasan

Irvan AmaLee, CEO Mizan Aplication Publisher yang membawakan acara itu, meminta semua peserta menggambar sebutir buah di atas kertas post it. Kemudian dalam buah itu digambar aksi kekerasan menurut versi masing-masing. Buah itu dinamakan buah kekerasan, yang kemudian ditempelkan di kertas bergambar pohon kekerasan. Ternyata ada yang menuliskan kata: meledek, tawuran, bicara kotor, membunuh, mem-bully, menganiaya, menyindir, dan kekerasan antarumat beragama.

“Nah, sekarang kita cari akar dari kekerasan itu,” lanjut Irvan. Kesimpulannya, akar kekerasan antara lain egois, kurang iman, tidak jadi pendengar yang baik, kurang perhatian, fanatik, melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), iri hati, tidak peka.

“Kita harus cabut akar itu dan menyelesaikan masalahnya,” kata Irvan, penggagas Peace Generation Indonesia, unit yang dipayungi oleh Penerbit Pelangi Mizan.

Ia mengingatkan ada dua pilihan dalam hidup ini, menghadapi konflik atau lari menjauhi konflik. Satu hal yang pasti, konflik akan selalu ada. Oleh sebab itu, semua pihak harus belajar menghadapi konflik. “Di dunia ini tak ada paket hemat, adanya paket hubungan baik dan konflik,” ia menambahkan.

Irvan membeberkan data, 90 persen dari konflik yang muncul di Indonesia merupakan konflik lama dan hanya 10 persen konflik baru. Jumlah kekerasan terhadap perempuan ada 30.000 tahun 2008. Dua pertiganya tidak melaporkan kepada pihak berwajib, hanya sepertiganya yang melaporkan. Padahal, kalau dihitung dari 30.000 itu menghasilkan 90.000 kekerasan di sekolah.

Mengapa? Sebab, apa yang terjadi di lingkungan sekolah dan pendidikan lainnya akan menular. Apa yang dilakukan orang tua akan dilihat dan ditiru anaknya. Apa yang dilakukan anak akan dilihat dan ditiru cucuya. Apa yang dilakukan cucunya akan dilihat dan dilanjutkan cicitnya, begitu seterusnya. “Children see, children do,” Irvan menegaskan. Sekali kekerasan dimulai akan sulit dihentikan.

Oswin Budi Darmawan dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Searah juga menegaskan, kekerasan terjadi setiap hari di mana-mana dan selalu berawal dari masalah kecil. Sayangnya, siaran televisi lebih sering menayangkan acara dan berita kekerasan pada waktu yang ditonton banyak orang.
 
Contohnya acara Smackdown! Acara gulat yang ditayangkan di televisi nasional ini kemudian menyebabkan cedera dan kematian beberapa anak, akibat menirukan gerakan-gerakan yang dilakukan oleh para atlet Smackdown!, sehingga sekarang acara ini tidak lagi ditayangkan di Indonesia.

Untuk mengatasi masalah kekerasan di Indonesia yang sudah kronis, menurut Oswin, kuncinya adalah masyarakat itu sendiri. Masyarakat harus memperbaiki diri dengan menciptakan kedamaian diri dan lingkungannya. Ibarat penyakit kanker, bukan sel ganasnya yang digempur dengan obat kemoterapi, radiasi, melainkan sel sehatnya yang diperbaiki.

Tumbuhkan Empati

Bryan Gallant dari LSM Searah mengemukakan, agama ada bukan untuk membuat klub atau kelompok. “Saya mengajar untuk orang Adven di Indonesia selama tiga tahun. Saya tanya apa tujuan menginjili? Apakah Anda melakukan evangelisasi, penginjilan, dakwah untuk menumbuhkan organisasi? Atau apakah kalian diorganisasi sehingga bisa melayani orang dengan membagikan kabar lebih baik kepada mereka? Apa tujuannya Anda bersaksi?”

Lalu pendeta dan pemimpin akan bilang, “Kami tahu kami diorganisasi untuk melayani, tapi biasanya kami bertingkah laku seolah hanya untuk berorganisasi.”

Bryan melanjutkan, “Jadi, iman yang telah diberikan kepada Anda adalah supaya Anda bisa menjadi berkah bagi orang di sekitar Anda, bukan untuk membuat grup. Tapi kita hidup di dunia, yang ini dilupakan. Iman bikin kita merosot karena lupa apa yang terpenting.”

Ia mengingatkan, manusia harus sungguh-sungguh menyerahkan hidup kepada Allah, tidak tergantung pada apa agama yang tertulis di Kartu Tanda Penduduk (KTP). Iman tak boleh dimanipulasi materi. Namun, faktanya banyak orang tak diberi makan hanya karena KTP sehingga iman mereka tidak kuat kemudian mencari tulisan agama di KTP yang bisa  memberi lebih banyak.

Seorang peserta bertanya mengapa di agama Islam ada banyak perbedaan seperti ada Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Ahmadiyah, padahal punya satu kesamaan tauhid.
 
Irvan AmaLee, CEO Mizan Aplication Publisher, menjawab dengan menjelaskan syariat adalah sesuatu yang bisa berubah, sedangkan tauhid itu mendasar. Misalkan, perbedaan hari Ramadan atau Lebaran hanyalah syariat, sedangkan korupsi adalah tauhid. Tapi mengapa kita ribut-ribut soal perbedaan hari Ramadhan tapi diam saat ada korupsi?

Ia mengingatkan tentang pemahaman toleransi. Toleransi ialah membiarkan orang lain berbuat sesuatu. Yang lebih tinggi dari toleransi yaitu empati. Empati berarti memahami, mempersilakan orang lain beribadah dan mendukungnya. Empati adalah ketika manusia punya kekuatan dan memahami mereka yang lemah.

Menurut Irvan, manusia akan memahami apa itu toleransi kalau menjadi minoritas. “Kenapa orang Islam khawatir untuk empati? Padahal empati adalah inti ajaran Islam. Jangan melakukan sesuatu yang tak ingin kamu lakukan,” ia menambahkan.

“Mengapa orang Islam ragu-ragu melindungi orang Kristen yang tak aman gerejanya? ‘Kita wajib melindungi agama-agama lain,’ kata Nabi Muhammad. Kita harus membaca sejarah dan memahami inti ajaran Islam.”

Ia menambahkan, setiap orang seharusnya mempelajari agama lain. Keimanan harus menerima gagasan-gagasan. 
Sumber : Sinar Harapan

Selasa, 12 November 2013

 buah putih sebelah bawah dan buah hitam sebelah atas. Dan yang melangkah pertama adalah buah putih



Tapi saya sengaja kasih jawaban untuk langkah pertama saja. Untuk langkah yang kedua dan ketiga silahkan cari sendiri!
1...Qb7







Senin, 11 November 2013

Jaman dahulu kala di sebuah desa tinggal sebuah keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu dan seorang gadis remaja yang cantik bernama bawang putih. Mereka adalah keluarga yang bahagia. Meski ayah bawang putih hanya pedagang biasa, namun mereka hidup rukun dan damai. Namun suatu hari ibu bawang putih sakit keras dan akhirnya meninggal dunia. Bawang putih sangat berduka demikian pula ayahnya.

Di desa itu tinggal pula seorang janda yang memiliki anak bernama Bawang Merah. Semenjak ibu Bawang putih meninggal, ibu Bawang merah sering berkunjung ke rumah Bawang putih. Dia sering membawakan makanan, membantu bawang putih membereskan rumah atau hanya menemani Bawang Putih dan ayahnya mengobrol. Akhirnya ayah Bawang putih berpikir bahwa mungkin lebih baik kalau ia menikah saja dengan ibu Bawang merah, supaya Bawang putih tidak kesepian lagi.

Dengan pertimbangan dari bawang putih, maka ayah Bawang putih menikah dengan ibu bawang merah. Awalnya ibu bawang merah dan bawang merah sangat baik kepada bawang putih. Namun lama kelamaan sifat asli mereka mulai kelihatan. Mereka kerap memarahi bawang putih dan memberinya pekerjaan berat jika ayah Bawang Putih sedang pergi berdagang. Bawang putih harus mengerjakan semua pekerjaan rumah, sementara Bawang merah dan ibunya hanya duduk-duduk saja. Tentu saja ayah Bawang putih tidak mengetahuinya, karena Bawang putih tidak pernah menceritakannya.

Suatu hari ayah Bawang putih jatuh sakit dan kemudian meninggal dunia. Sejak saat itu Bawang merah dan ibunya semakin berkuasa dan semena-mena terhadap Bawang putih. Bawang putih hampir tidak pernah beristirahat. Dia sudah harus bangun sebelum subuh, untuk mempersiapkan air mandi dan sarapan bagi Bawang merah dan ibunya. Kemudian dia harus memberi makan ternak, menyirami kebun dan mencuci baju ke sungai. Lalu dia masih harus menyetrika, membereskan rumah, dan masih banyak pekerjaan lainnya. Namun Bawang putih selalu melakukan pekerjaannya dengan gembira, karena dia berharap suatu saat ibu tirinya akan mencintainya seperti anak kandungnya sendiri.

Pagi ini seperti biasa Bawang putih membawa bakul berisi pakaian yang akan dicucinya di sungai. Dengan bernyanyi kecil dia menyusuri jalan setapak di pinggir hutan kecil yang biasa dilaluinya. Hari itu cuaca sangat cerah. Bawang putih segera mencuci semua pakaian kotor yang dibawanya. Saking terlalu asyiknya, Bawang putih tidak menyadari bahwasalah satu baju telah hanyut terbawa arus. Celakanya baju yang hanyut adalah baju kesayangan ibu tirinya. Ketika menyadari hal itu, baju ibu tirinya telah hanyut terlalu jauh. Bawang putih mencoba menyusuri sungai untuk mencarinya, namun tidak berhasil menemukannya. Dengan putus asa dia kembali ke rumah dan menceritakannya kepada ibunya.

“Dasar ceroboh!” bentak ibu tirinya. “Aku tidak mau tahu, pokoknya kamu harus mencari baju itu! Dan jangan berani pulang ke rumah kalau kau belum menemukannya. Mengerti?”

Bawang putih terpaksa menuruti keinginan ibun tirinya. Dia segera menyusuri sungai tempatnya mencuci tadi. Mataharisudah mulai meninggi, namun Bawang putih belum juga menemukan baju ibunya. Dia memasang matanya, dengan teliti diperiksanya setiap juluran akar yang menjorok ke sungai, siapa tahu baju ibunya tersangkut disana. Setelah jauh melangkah dan matahari sudah condong ke barat, Bawang putih melihat seorang penggembala yang sedang memandikan kerbaunya. Maka Bawang putih bertanya: “Wahai paman yang baik, apakah paman melihat baju merah yang hanyut lewat sini? Karena saya harus menemukan dan membawanya pulang.” “Ya tadi saya lihat nak. Kalau kamu mengejarnya cepat-cepat, mungkin kau bisa mengejarnya,” kata paman itu.

“Baiklah paman, terima kasih!” kata Bawang putih dan segera berlari kembali menyusuri. Hari sudah mulai gelap, Bawang putih sudah mulai putus asa. Sebentar lagi malam akan tiba, dan Bawang putih. Dari kejauhan tampak cahaya lampu yang berasal dari sebuah gubuk di tepi sungai. Bawang putih segera menghampiri rumah itu dan mengetuknya.
“Permisi…!” kata Bawang putih. Seorang perempuan tua membuka pintu.
“Siapa kamu nak?” tanya nenek itu.

“Saya Bawang putih nek. Tadi saya sedang mencari baju ibu saya yang hanyut. Dan sekarang kemalaman. Bolehkah saya tinggal di sini malam ini?” tanya Bawang putih.
“Boleh nak. Apakah baju yang kau cari berwarna merah?” tanya nenek.
“Ya nek. Apa…nenek menemukannya?” tanya Bawang putih.

“Ya. Tadi baju itu tersangkut di depan rumahku. Sayang, padahal aku menyukai baju itu,” kata nenek. “Baiklah aku akan mengembalikannya, tapi kau harus menemaniku dulu disini selama seminggu. Sudah lama aku tidak mengobrol dengan siapapun, bagaimana?” pinta nenek.Bawang putih berpikir sejenak. Nenek itu kelihatan kesepian. Bawang putih pun merasa iba. “Baiklah nek, saya akan menemani nenek selama seminggu, asal nenek tidak bosan saja denganku,” kata Bawang putih dengan tersenyum.

Selama seminggu Bawang putih tinggal dengan nenek tersebut. Setiap hari Bawang putih membantu mengerjakan pekerjaan rumah nenek. Tentu saja nenek itu merasa senang. Hingga akhirnya genap sudah seminggu, nenek pun memanggil bawang putih.
“Nak, sudah seminggu kau tinggal di sini. Dan aku senang karena kau anak yang rajin dan berbakti. Untuk itu sesuai janjiku kau boleh membawa baju ibumu pulang. Dan satu lagi, kau boleh memilih satu dari dua labu kuning ini sebagai hadiah!” kata nenek.
Mulanya Bawang putih menolak diberi hadiah tapi nenek tetap memaksanya. Akhirnya Bawang putih memilih labu yang paling kecil. “Saya takut tidak kuat membawa yang besar,” katanya. Nenek pun tersenyum dan mengantarkan Bawang putih hingga depan rumah.

Sesampainya di rumah, Bawang putih menyerahkan baju merah milik ibu tirinya sementara dia pergi ke dapur untuk membelah labu kuningnya. Alangkah terkejutnya bawang putih ketika labu itu terbelah, didalamnya ternyata berisi emas permata yang sangat banyak. Dia berteriak saking gembiranya dan memberitahukan hal ajaib ini ke ibu tirinya dan bawang merah yang dengan serakah langsun merebut emas dan permata tersebut. Mereka memaksa bawang putih untuk menceritakan bagaimana dia bisa mendapatkan hadiah tersebut. Bawang putih pun menceritakan dengan sejujurnya.

Mendengar cerita bawang putih, bawang merah dan ibunya berencana untuk melakukan hal yang sama tapi kali ini bawang merah yang akan melakukannya. Singkat kata akhirnya bawang merah sampai di rumah nenek tua di pinggir sungai tersebut. Seperti bawang putih, bawang merah pun diminta untuk menemaninya selama seminggu. Tidak seperti bawang putih yang rajin, selama seminggu itu bawang merah hanya bermalas-malasan. Kalaupun ada yang dikerjakan maka hasilnya tidak pernah bagus karena selalu dikerjakan dengan asal-asalan. Akhirnya setelah seminggu nenek itu membolehkan bawang merah untuk pergi. “Bukankah seharusnya nenek memberiku labu sebagai hadiah karena menemanimu selama seminggu?” tanya bawang merah. Nenek itu terpaksa menyuruh bawang merah memilih salah satu dari dua labu yang ditawarkan. Dengan cepat bawang merah mengambil labu yang besar dan tanpa mengucapkan terima kasih dia melenggang pergi.

Sesampainya di rumah bawang merah segera menemui ibunya dan dengan gembira memperlihatkan labu yang dibawanya. Karena takut bawang putih akan meminta bagian, mereka menyuruh bawang putih untuk pergi ke sungai. Lalu dengan tidak sabar mereka membelah labu tersebut. Tapi ternyata bukan emas permata yang keluar dari labu tersebut, melainkan binatang-binatang berbisa seperti ular, kalajengking, dan lain-lain. Binatang-binatang itu langsung menyerang bawang merah dan ibunya hingga tewas. Itulah balasan bagi orang yang serakah.

Sabtu, 09 November 2013


Jani ada kone tutur-tuturan satua, Ida Betara Guru. Ida Betara Guru totonan malinggih ring Gunung Semeru, kairing olih putranidane mapesengan I Naga Basukih. Pesengan Idane dogen suba ngarwanang, I Naga Basukih terang gati suba putran Ida Betara Guru totonan maukudan Naga, marupa lelipi gede pesan sing keto jenenga?
pic.suryadistirablogspotNah jani sedek dina anu, kandugi enu ruput pesan I Naga Basukih tangkil ring ajine. Baan tumben buka semengane I Naga Basukih Tangkil, dadi matakon Ida Betara Guru ring putrane, “Uduh nanak Bagus, dadi tumben buka semengan I Nanak nangkilin Aji, men apa jenenga ada kabuatan I Nanak ring Aji, nah lautan I Nanak mabaos!” Keto kone pataken Ida Betara guru ring putrane I Naga Basukih.
Ditu lantas I Naga Basukih matur ring Ajine, “Nawegang Aji Agung titiang kadi isenge ring sameton titiange sane wenten ring jagat Bali, makadi Betara Geni Jaya sane malinggih kocap ring Bukit Lempuyang, Betara Mahadewa kocap ring Gunung Agung, Betara Tumuwuh ring Gunung Batukaru, Betara Manik Umang ring Gunung Beratan, Betara Hyang Tugu di Gunung Andakasa, cutet ring sami sameton titiange sane wenten ring tanah Bali. Dening sampun lami pisan Aji, titiang tan pisan naanin mapanggih sareng sameton, nika mawinan titiang nunasang mangda sueca ugi maicain titiang lunga ka tanah Bali jaga ngrereh sameton titiange sami.”
Beh, mara keto kone aturne I naga Basukih, dadi di gelis Ida Betara Guru ngandika, “Uduh nanak Bagus, nah yan dadi baan Aji sampunang ja I Nanak lunga ka Bali buate lakar ngalih pasemetonan I Dewane. Nah apa lantas ngawinang dadi buka Aji mialang pamargan I Nanak, mapan gumi Baline totonan joh pesan uli dini. Buina yan lakar I Nanak ngalih gumi Baline, pajalane ngliwat pasih. Len teken totonan buat tongos sameton-sameton I Nanake malinggih madoh-dohan, selat alas suket madurgama. Kaparna baan Aji, minab lakar sengka baan I Nanak indike jaga mamanggih sameton. Buina yan pade I Nanak lunga, men nyen kone ajak Aji ngawaspadain utawi nureksain dini di Gunung Semeru.” Dadi keto kone pangandikan Ida Betara Guru buka anake mialang pajalane I Naga Basukih unduke lakar luas ka tanah Bali.
Baan isenge teken sameton, mimbuh baan dote nawang gumi Bali sing ya keto jenenga, dadi buin ngawawanin I Naga Basukih matur ring Betara Guru, “Nunas lugra Aji Agung, yening kenten antuk Aji mabaos, minab Aji ngandapang saha nandruhin kawisesan titiange. I wau Aji mamaosang jagat Baline selat pasih raris mialang pajalan titiange ka Bali, beh elah antuk titiang ngentap pasihe wantah aclekidek. Raris malih Aji maosang genah sameton titiange di Bali medoh-dohan, maselat alas suket madurgama, amunapi se ageng gumi Baline punika Aji? Kantun elah antuk titiang Aji. Yening Aji maicayang, punika Aji.” Dadi jeg keto kone aturne I Naga Basukih, jeg nyampahang gumi Baline di ajeng Ida Betara Guru.
Nah mapan keto kone aturne I Naga Basukih, men Ida Betara Guru jog kadi blengbengan kayunidane miragi atur putrane. Dados jog nyampahang gumi Baline, buin sadah elah kone baana nguluh mapan tuah amul taluhe geden gumi Baline. Sakewala pamuput ngandika Ida Betara Guru teken I Naga Basukih, “Nanak Bagus Naga Basukih, Aji sing ja buin lakar mialang pajalan I Nanak ka jagat Bali, nah majalan I Nanak apang melah!” Mara keto kone pangandikan Ajine, beh ngrigik kone I Naga Basukih, jog menggal-enggalan nunas mapamit ring Ida Betara Guru.
Nah jani madabdan kone I Naga Basukih buate luas ka Bali. Yan buat pajalane uli Gunung Semeru lakar ngojog Blangbangan. Di benengan majalane I Naga Basukih, asing tomploka jog pragat dekdek remuk. Telah punyan-punyanane balbal sabilang ane kentasin baan I Naga Basukih. Sing baan geden lipine ngranaang sing keto jenega? Biuna telah patlangkeb kutun alase mara ningalin I Naga Basukih.
Gelising satua tan ucap di jalan, jani suba kone neked di Blangbangan pajalane I Naga Basukih. Mapan edote apang enggal ja ningalin gumi Baline, dong keto ya jenenga, jani menek kone I Naga Basukih ka duur muncuk gununge, uli muncuk gununge totonan lantas I Naga Basukih ninjo gumi Baline. Bes gegaen ningalin uli joh lantasan, terang suba cenik tingalina gumi baline teken I Naga Basukih. Payu ngrengkeng I Naga Basukih, kene kone krengkenganne I Naga Basukih, “Beh bes sanget baana I Aji melog-melog deweke, suba seken gumi Baline amul taluhe dadi mahanga lakar keweh kone deweke ngalih sameton di gumi Bali. Dadi buka anake sing nyager I Aji teken kesaktian deweke.”
Nah keto ja kone pakrengkenganne I Naga Basukih. Dadi tusing pesan kone ia rungu wiadin anen pakrengkengane di ati tatonan kapireng olih Ida Betara Guru. Ida anak mula maraga mawisesa, maraga sakti, sakedap dini sakedap ditu, cara angin tuara ngenah. Dadi dugas I Naga Basukih ngrengkene masambilan ninjo gumi Baline uli muncuk gununge Ida Batara suba ditu, sakewala sing tingalina teken I Naga Basukih. Ida mula uning ngenah ilang.
Men jani mapan aketo lantasan pakrengkenganne I Naga Basukih, ditu lantas Ida Betara Guru jog nyeleg di sampingne I Naga Basukih tumuli ngandika, “Uduh nanak Naga Basukih nganti suba pindo pireng Aji I Nanak nyampahang gumi Baline, I Nanak ngorahang gumi Baline totonan tuah amul taluhe. Nah jani Aji kene teken I Nanak, yan saja gumi Baline tuah amul taluhe buka pamunyin I Nanake, nah ento ada muncuk gunung ane ngenah uli dini. Yan buat gununge ento madan Gunung Sinunggal. Jani yan saja I Nanak sakti tur pradnyan, Aji matakon teken I Dewa, “Nyidaang ke I Nanak nguluh gununge totonan? Yang suba saja mrasidaang I Dewa nguluh, nah kala ditu Aji ngugu teken kawisesan I Dewane.” Keto kone pangandikan Ida Betara Guru teken I Naga Basukih.
Beh payu makejengan I Naga Basukih, krana tusing naen-naen gati dadi jog nyeleg Ajine di sampingne. Dadi mapan aketo bebaos Ida Betara Guru, dadi matur I Naga Basukih, “Inggih Aji Agung, yang wantah Aji nitah mangda nguluh Sinunggale, maliha yan bantas amonika pakantenan jagat Baline, yening Aji maicayang jagat Baline jaga uluh titiang.” Keto kone aturne I Naga Basukih kaliwat bergah.
Malih Ida Betara Guru ngandika, “Cening Naga Basukih, nah ene titah Ajine ane abedik malu laksanaang!”
Jani madabdaban lantas I Naga Basukih lakar nguluh Gunung Sinunggale ane ada di tanah Bali uli di Gunung Blangbangane. Ditu I Naga Basukih ngentegang saha nuptupang bayu. Beh ngencorong paningalan I Naga Basukih neeng Gunung Sinunggale, yan rasa-rasaang tulen ja buka kedis sikepe di benengan nyander pitike kagangsaranne I Naga Basukih ngepet-ngepetang muncuk gununge.
Nah jani disubane neked di Bali, buina suba kacaplok Gunung Sinunggale, beh kaling ke lakar nguluh, ajin bantas mara muncukne dogen suba sing nyidaang I Naga Basukih ngepet-ngepetang muncuk gununge. Mapan kagedean lelipi sadah sambilanga maplengsagan mesuang bayu, dadi embid Gunung Sinunggale ane paek bena kelodne. Yan rasaang, beh cara munyin kerug sasih kaulu munyin doosanne I Naga Basukih amah kenyelne, masih tonden nyidaang nguluh Gunung Sinunggale.
Kacrita ne jani pelanan suba telah gading bayunne I Naga Basukih masih tonden nyidaang nguluh gununge. Undukne I Naga Basukih buka keto kaaksi olih Ida Betara Guru, mawanan di gelis Ida ngandika, “Nanak Naga Basukih, men kenken nyidaang apa tuara I Nanak nguluh Gunung Sinunggale?”
Mara keto kone patakon Ida Betara Gurune, emeh kaliwat kabilbilne madukan jengah kenehne I Naga Basukih. Sakewala buin telung keto ja lakar ngaba jengah, lakar pragat tuara nyidaang I Naga Basukih lakar nguluh Gunung Sinunggale. Kaling ke nguluh makejang, ajin nguluh muncukne dogen suba nandes. Dadi sambilanga masemu kabilbil matur I Naga Basukih ring Ida Betara Guru.
“Nawegang Aji Agung, kenak Aji ngampurayang indik titiange bregah saha ngandapang jagat Baline. Mangkin kenak Aji ngenenin upadarwa padewekan titiange baan titiang bregah!” Keto kone aturne I Naga Basukih, jegan pragat tinut teken sapatitah Ida Betara Guru.
Nah sasukat I Naga Basukih nongosin Gunung Sinunggale, kapah ada linuh, kapah ada blabar, buina tusing pesan taen ada angin slaung sajeroning Bali.
Nah, ada buka jani gunuge tegeh-tegeh di Bali, ento kone mawiwit uli Gunung Mahameru ane katurunang di Bali olih Ida Betara Guru.
Pragat suba satuane amonto.
Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!