Minggu, 24 November 2013

(SH/Pramono R Pramoedjo)
Ilustrasi.

Tiga puluh delapan mahasiswa berkumpul di sebuah rumah di Cimahi, Jawa Barat. Mereka ketawa-ketiwi mengabaikan hawa dingin air hujan yang tercurah dari langit tiada henti.


Duduk di lantai untuk sebuah pertemuan selama tiga hari, dengan tidur umpel-umpelan dan mandi secepat kilat karena hanya ada tiga kamar tidur dan lima kamar mandi di sana. Yang tidak kebagian kamar tidur, menggelar kasur di ruang terbuka lantai 2. Padahal, setiap peserta merogoh kocek sendiri untuk ikutan kegiatan itu.  

Gila, kan? Tapi Titi (20) merasa senang. Aris Munandar (20) juga sama, senang. Menggebu-gebu, malah. “Ini seru banget. Papa di Kalimantan sudah tanya terus, minta diceritain. Saya sering telepon ke rumah, terus papa tanya ‘Ayo cepat kami dikasih tahu gimana acara di situ’,” kata Titi, mahasiswi Universitas Adven Indonesia (Unai) Cimahi jurusan Akuntansi, yang baru Agustus 2013 lalu meninggalkan tanah kelahirannya di Pontianak, Kalimantan Barat.

Titi yang asal suku Dayak itu tak ingin konflik berdarah di daerahnya terulang. Trauma masih membekas, pertikaian antara Dayak-Madura yang dipicu masalah sepele, tapi kemudian membesar dan mengakibatkan jatuhnya banyak korban jiwa dan materi. Seperti mimpi buruk kalau ia mendadak terbayang-bayang peristiwa itu, meskipun tidak langsung melihat kejadiannya dan hanya mendengar cerita dari mulut ke mulut.

Aris Munandar yang mahasiswa jurusan Hubungan Internasional (HI) Universitas Lampung (Unila), juga tak rela daerah asalnya, Lampung, diobok-obok pertentangan berdarah. Ia tak mau lagi konflik terjadi seperti pada awal Oktober 2013 antara suku Lampung dan Bali di Kalianda.

Jengah menghadapi pertikaian, kemudian Titi, Aris, dan 36 mahasiswa lain dari beragam suku dan agama menambah ilmu tentang bagaimana cara menciptakan perdamaian. Mereka ingin tampil menjadi peacemaker, pendamai. Tidak muluk-muluk berilusi mengubah perang menjadi perdamaian, tapi cukup menciptakan rasa damai di hati sendiri dan di lingkungan terdekatnya. Menciptakan kerukunan di dalam keluarga pun cukup, dengan harapan tidak mengalami perceraian rumah tangga.

Salut buat Aris! Ia saat ini sedang ikut dalam manajemen proyek untuk acara Sumatera Peace Summit di Bandar Lampung, 22-24 Desember 2013. “Saya ingin Indonesia yang multietnis dan segala multi-multi lainnya ini jadi damai. Lebay, ya?” ujar Aris tersenyum.

Tapi ia serius, sama seriusnya dengan semua mahasiswa lain yang berinisiatif mengikuti pertemuan yang digagas oleh Peace Generation Indonesia itu.

Ini mencengangkan, bahwa ternyata anak-anak muda terpelajar yang sama sekali tak terdengar gaungnya, diam-diam berkumpul mendiskusikan tentang bagaimana cara menciptakan perdamaian di Indonesia. Dalam ajang itu mereka juga nonton film bagus tapi terlarang, ?, karya Hanung Bramantyo yang mengisahkan pembauran dan pluralisme.

Kegiatan tersebut disebut Student Interfaith Peace Camp 2013: Building Peace Generation Through Young Peacemaker. Diselenggarakan Young Interfaith Peacemaker Community Indonesia di lokasi Rumah Searah, Parongpong, Cimahi, Jawa Barat, Jumat-Minggu (15-17 November).
 
Diadakan serentak di empat lokasi yakni Cimahi, Yogyakarta, Jawa Timur, dan Medan. Peserta di Cimahi adalah mahasiswa dari Cimahi, Lampung, Bandung, dan Jakarta dari agama Islam, Protestan, Katolik, dan Adven. Uniknya, setiap peserta wajib membawa kitab suci masing-masing.

Di lokasi yang cukup sulit diakses kendaraan umum itu, mereka melakukan doa bersama dalam satu ruangan yang sama pada waktu bersamaan. Yang muslim salat, sementara yang Kristen, Katolik, dan Adven sembahyang.
 
Doa dimulai pukul 04.00 subuh, disambung devosi bersama. Dalam devosi mereka membaca kitab suci masing-masing yang inti ayatnya bersinggungan atau ada kesamaan antaragama, lantas mereka sharing-kan. Mereka jadi mengerti inti agama adalah sama, yaitu ada rahmat dan kasih.

Hari pertama acara tersebut merupakan hari Jumat, seluruh peserta camp melakukan doa bersama pada petang hari. Itulah hari Sabat bagi orang Adven. Bahkan, berhubung kegiatan diadakan di dekat Kampus Universitas Adven Indonesia (Unai), menu makan selama tiga hari menghindari ikan dan daging. Yang ada hanya sayur, buah, dan sesekali telur burung puyuh. Nyatanya, semua peserta senang dan berebut makan. Tak ada yang mengeluhkan menu yang sederhana.

Itulah wujud rasa saling menghormati agama lain. Bukan dimaksudkan untuk mengubah iman, melainkan agar antaragama saling memahami dan melengkapi. Sesuai prinsip ajaran keempat dalam camp tersebut tentang perbedaan agama, yakni beda keyakinan nggak usah musuhan! “Kamu harus loyal pada agamamu, tapi juga harus hormat pada agama lain”.

Di situlah para mahasiswa dipertebal ilmunya tentang nilai-nilai dasar perdamaian, yakni menghargai perbedaan, empati, membangun persahabatan dengan orang yang berbeda, dan menghindari prasangka. Ada 12 cara penyelesaian konflik, di antaranya adalah menciptakan rasa menghargai, cinta, aman, dan rasa dimengerti.

Setelah mengerti nilai-nilai dasar perdamaian, mereka akan memahami prosesnya, lalu nanti akan menerapkan di lingkungan masing-masing dalam masyarakat. Setiap peserta akan menularkan ilmunya tersebut sebagai trainer di lingkup masing-masing, dengan sasaran akhir tidak ada lagi kekerasan dan konflik di masyarakat yang mengatasnamakan agama/golongan.

Mereka akan menjadi role model bagi masyarakat, pada hari terakhir camp mereka dilatih menjadi foto model oleh Sri Danarti Mintarsih (Mimien) dari Peace Generation. Harapannya, seorang model akan tampil membawakan diri sebaik mungkin di tengah masyarakat. Acara yang seru dan tidak membosankan.

Cabut Akar Kekerasan

Irvan AmaLee, CEO Mizan Aplication Publisher yang membawakan acara itu, meminta semua peserta menggambar sebutir buah di atas kertas post it. Kemudian dalam buah itu digambar aksi kekerasan menurut versi masing-masing. Buah itu dinamakan buah kekerasan, yang kemudian ditempelkan di kertas bergambar pohon kekerasan. Ternyata ada yang menuliskan kata: meledek, tawuran, bicara kotor, membunuh, mem-bully, menganiaya, menyindir, dan kekerasan antarumat beragama.

“Nah, sekarang kita cari akar dari kekerasan itu,” lanjut Irvan. Kesimpulannya, akar kekerasan antara lain egois, kurang iman, tidak jadi pendengar yang baik, kurang perhatian, fanatik, melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), iri hati, tidak peka.

“Kita harus cabut akar itu dan menyelesaikan masalahnya,” kata Irvan, penggagas Peace Generation Indonesia, unit yang dipayungi oleh Penerbit Pelangi Mizan.

Ia mengingatkan ada dua pilihan dalam hidup ini, menghadapi konflik atau lari menjauhi konflik. Satu hal yang pasti, konflik akan selalu ada. Oleh sebab itu, semua pihak harus belajar menghadapi konflik. “Di dunia ini tak ada paket hemat, adanya paket hubungan baik dan konflik,” ia menambahkan.

Irvan membeberkan data, 90 persen dari konflik yang muncul di Indonesia merupakan konflik lama dan hanya 10 persen konflik baru. Jumlah kekerasan terhadap perempuan ada 30.000 tahun 2008. Dua pertiganya tidak melaporkan kepada pihak berwajib, hanya sepertiganya yang melaporkan. Padahal, kalau dihitung dari 30.000 itu menghasilkan 90.000 kekerasan di sekolah.

Mengapa? Sebab, apa yang terjadi di lingkungan sekolah dan pendidikan lainnya akan menular. Apa yang dilakukan orang tua akan dilihat dan ditiru anaknya. Apa yang dilakukan anak akan dilihat dan ditiru cucuya. Apa yang dilakukan cucunya akan dilihat dan dilanjutkan cicitnya, begitu seterusnya. “Children see, children do,” Irvan menegaskan. Sekali kekerasan dimulai akan sulit dihentikan.

Oswin Budi Darmawan dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Searah juga menegaskan, kekerasan terjadi setiap hari di mana-mana dan selalu berawal dari masalah kecil. Sayangnya, siaran televisi lebih sering menayangkan acara dan berita kekerasan pada waktu yang ditonton banyak orang.
 
Contohnya acara Smackdown! Acara gulat yang ditayangkan di televisi nasional ini kemudian menyebabkan cedera dan kematian beberapa anak, akibat menirukan gerakan-gerakan yang dilakukan oleh para atlet Smackdown!, sehingga sekarang acara ini tidak lagi ditayangkan di Indonesia.

Untuk mengatasi masalah kekerasan di Indonesia yang sudah kronis, menurut Oswin, kuncinya adalah masyarakat itu sendiri. Masyarakat harus memperbaiki diri dengan menciptakan kedamaian diri dan lingkungannya. Ibarat penyakit kanker, bukan sel ganasnya yang digempur dengan obat kemoterapi, radiasi, melainkan sel sehatnya yang diperbaiki.

Tumbuhkan Empati

Bryan Gallant dari LSM Searah mengemukakan, agama ada bukan untuk membuat klub atau kelompok. “Saya mengajar untuk orang Adven di Indonesia selama tiga tahun. Saya tanya apa tujuan menginjili? Apakah Anda melakukan evangelisasi, penginjilan, dakwah untuk menumbuhkan organisasi? Atau apakah kalian diorganisasi sehingga bisa melayani orang dengan membagikan kabar lebih baik kepada mereka? Apa tujuannya Anda bersaksi?”

Lalu pendeta dan pemimpin akan bilang, “Kami tahu kami diorganisasi untuk melayani, tapi biasanya kami bertingkah laku seolah hanya untuk berorganisasi.”

Bryan melanjutkan, “Jadi, iman yang telah diberikan kepada Anda adalah supaya Anda bisa menjadi berkah bagi orang di sekitar Anda, bukan untuk membuat grup. Tapi kita hidup di dunia, yang ini dilupakan. Iman bikin kita merosot karena lupa apa yang terpenting.”

Ia mengingatkan, manusia harus sungguh-sungguh menyerahkan hidup kepada Allah, tidak tergantung pada apa agama yang tertulis di Kartu Tanda Penduduk (KTP). Iman tak boleh dimanipulasi materi. Namun, faktanya banyak orang tak diberi makan hanya karena KTP sehingga iman mereka tidak kuat kemudian mencari tulisan agama di KTP yang bisa  memberi lebih banyak.

Seorang peserta bertanya mengapa di agama Islam ada banyak perbedaan seperti ada Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Ahmadiyah, padahal punya satu kesamaan tauhid.
 
Irvan AmaLee, CEO Mizan Aplication Publisher, menjawab dengan menjelaskan syariat adalah sesuatu yang bisa berubah, sedangkan tauhid itu mendasar. Misalkan, perbedaan hari Ramadan atau Lebaran hanyalah syariat, sedangkan korupsi adalah tauhid. Tapi mengapa kita ribut-ribut soal perbedaan hari Ramadhan tapi diam saat ada korupsi?

Ia mengingatkan tentang pemahaman toleransi. Toleransi ialah membiarkan orang lain berbuat sesuatu. Yang lebih tinggi dari toleransi yaitu empati. Empati berarti memahami, mempersilakan orang lain beribadah dan mendukungnya. Empati adalah ketika manusia punya kekuatan dan memahami mereka yang lemah.

Menurut Irvan, manusia akan memahami apa itu toleransi kalau menjadi minoritas. “Kenapa orang Islam khawatir untuk empati? Padahal empati adalah inti ajaran Islam. Jangan melakukan sesuatu yang tak ingin kamu lakukan,” ia menambahkan.

“Mengapa orang Islam ragu-ragu melindungi orang Kristen yang tak aman gerejanya? ‘Kita wajib melindungi agama-agama lain,’ kata Nabi Muhammad. Kita harus membaca sejarah dan memahami inti ajaran Islam.”

Ia menambahkan, setiap orang seharusnya mempelajari agama lain. Keimanan harus menerima gagasan-gagasan. 
Sumber : Sinar Harapan

0 komentar:

Posting Komentar

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!